Title: Promise
Chapter: 1/??
Author: me
Genre: Fluff, Romance, Angst, AU High School
Warnings: none so far, written in Indonesian, slow update
Ratings: PG13-PG15
Pairing: ReitaxRuki(main), AoixRuki (later)
Summary: Ruki is a new student in Reita's class. (abaikan summary-nya LOL)
Disclaimer: I own Ruki as my mommy and Reita as my daddy. Yeah, I'm their foster child! #slaps XD
Comments: Anyone remember this fic? LOL~
***
Aku duduk memandangi langit yang berawan hari ini sambil memakan roti yang aku beli di kantin tadi. Menyandarkan punggungku di pagar pojok atap sekolah. Tidak terlalu mendung, tapi cukup membuat teduh tempat ini. Angin musim gugur bulan oktober yang bertiup mulai berhawa dingin. Aku sedikit merinding saat mereka menerpa kulit putih pucatku saat pertama kali membuka pintu di atap ini.
Sudah seminggu aku bersekolah disini dan berteman dengan seseorang yang cukup menarik perhatianku. Juga beberapa temannya telah menjadi ‘teman’ku. Ternyata dia anak yang cukup popular di sekolah ini. Sebenarnya aku benci anak yang popular. Karena setelah aku meninggalkan mereka, mereka pasti akan mendapat teman baru dan melupakanku dari ingatan mereka.
Mereka mendekatiku dan berteman denganku hanya karena aku anak baru dan tidak mau membiarkanku sendirian. Mereka ingin setidaknya aku memiliki teman dan tidak mau dianggap tak memperdulikan diriku. Aku tidak tahu apakah mereka terpaksa berteman denganku atau hanya karena kasihan aku tidak punya teman. Yah, kuladeni saja mereka, selayaknya seorang teman.
Aku membuka ponselku. Tak ada pesan. Tak ada panggilan tak terjawab. Aku mendengus pelan. Padahal seminggu yang lalu teman-teman lamaku itu sibuk menanyaiku bagaimana keadaan sekolahku yang baru. Sekarang, mereka sudah melupakanku. Melenyapkan segala tentang diriku di ingatan mereka. Mereka hanya menjadikan diriku sosok yang tak berarti yang singgah sekilas di kehidupan mereka yang lalu. Tak memiliki arti sama sekali.
Aku memasukkan lagi ponselku ke saku celanaku. Kembali memakan rotiku yang belum habis. Angin yang dingin kembali menerpaku. Memainkan rambut hitamku yang kucat sebagian dengan warna merah di bagian depannya. Semakin lama aku merasa terbuai di atap sekolah ini. Angin yang kurasakan sekarang tidaklah dingin, namun sejuk. Membuatku enggan mengangkat pantatku dari tempat ini.
Aku sedang hampir tertidur ketika seseorang membuka pintu atap sekolah dan meneriakkan namaku. Aku membuka kedua pelupuk mataku dan menemukan Reita berdiri tepat di depanku. Ia memanyunkan bibirnya, meletakkan tangannya di pinggangnya. Aku menatapnya. Terlihat dia bernafas sedikit terengah-engah.
“Ruki, sudah kubilang kan, jangan berkeliaran sendirian! Kau belum tahu seluk beluk sekolah ini kan? Bagaimana kalau kau tersesat? Bagaimana kalau kau masuk ke daerah kelas 3? Bagaimana kalau kau di-”
“Tenang Rei, aku baik-baik saja,” aku memotong perkataannya.Sungguh, terkadang dia sangat menyenangkan, terkadang pula dia menyebalkan seperti saat ini. Aku heran, kenapa aku bisa menerima seseorang ini menjadi temanku. Dan aku akui, hanya dia yang selama seminggu ini selalu bersamaku. Seseorang yang paling dekat denganku seminggu ini.
“Aku cemas padamu Ruki,” ucapnya sambil menghela nafas dan duduk di depanku.
Aku mengerutkan keningku. Menatap Reita heran. Hey Reita, aku hanya temanmu kan? Kenapa kau sebegitunya mencemaskanku? Dan, aku ini bukan tipe orang yang menyenangkan seperti dirimu, kenapa kau masih saja mau mengajakku ngobrol? Kenapa kau tidak bermain saja dengan teman-temanmu yang lain? Seharusnya jika kau terpaksa bersamaku, tinggalkan saja aku. Tak apa. Aku sudah biasa sendirian. Tapi, kenapa masih saja bersama denganku? Terlalu banyak pertanyaan kenapa. Dia membingungkanku.
“Tak usah cemaskan aku. Aku sudah cukup mengenal ruang-ruang di sekolah ini.”
“Ta, tapi… okelah,” katanya, sudah sedikit tenang. “Ngomong-ngomong kita dimana?”
“Di atap sekolah gedung sebelah timur,” ujarku mantab. Membuktikan padanya bahwa diriku sudah hapal tempat-tempat di sekolah ini.
Herannya, dia malah terbelalak kaget dan berteriak. “Atap gedung sebelah timur?!”. Kemudian berlari ke arah pintu atap sekolah. Ia terduduk lemas begitu melihat pintu atap sekolah itu tertutup dengan sempurna. Aku mendekatinya.
“Kenapa Rei?” aku menepuk pundaknya.
Dia menoleh. Memberikanku pandangan seperti hampir menangis.“Kau tahu Ruki, pintu atap sekolah gedung timur akan mengunci otomatis jika ditutup. Dan tidak bisa dibuka dari luar, hanya bisa dari dalam. Itu artinya, kita harus menunggu seseorang membukakan pintu untuk kita,” jelasnya.
Aku terdiam beberapa saat.
“Kau bercanda kan?” ucapku sambil mengguncangkan pundaknya. Sedikit memaksakan diri untuk tersenyum kalau benar dia hanya bercanda. Namun dia menggeleng dan mengangkat jari telunjuknya ke arah pintu.
“Buka saja kalau kau bisa,” Aku mengikuti kata-katanya. Kudekati pintu itu lalu kuputar kenop pintunya. Sial. Dia benar. Terkunci.
Aku membalikkan tubuhku dan bersandar di dinding sebelah pintu. Perlahan menjatuhkan pantatku di atas permukaan lantai. Aku menghela nafas dan kembali menatap Reita yang masih diam ditempatnya.
“Sepertinya kita harus membolos pelajaran dan singgah disini sampai ada yang membukakan pintu ini untuk kita,” ujarku lesu.
Reita mengangguk. Ia bangkit berdiri dan pindah duduk di sampingku. Meniru diriku menghela nafas.
“Nee, Ruki…” ucapnya memulai percakapan denganku. Aku mengangkat alisku.
“Ya?” jawabku.
“Umm, karena sepertinya kita bakal terkurung disini lebih lama, kalau boleh, umm, maukah kau ceritakan kisahmu di sekolah-sekolahmu sebelumnya?” tanyanya. Yah, pertanyaan yang bagus sekali untuk memulai percakapan dengan murid baru.
“Ha? Sekolahku sebelumnya?” tanyaku balik.
“Yup,” ia mengangguk.
“Tidak ada yang menarik,” jawabku singkat. Memang benar, tidak ada yang menarik. Mereka semua menyebalkan, mereka semua membosankan. Atau, akulah yang menyebalkan? Entahlah…
“Usoo~!! Keadaan tiap kota kan berbeda-beda, pasti ada yang menarik kan, Ruki?” tanyanya sambil memutar tubuhnya menghadapku.
“Nggak kok, tiap kota sama-sama ada orangnya, ada bangunannya, ada kuilnya, ada jalannya, ada sungainya, ada…”
“Duh, bukan ituuuu~,” potongnya. “Ehe, Ruki, ceweknya gimana? Imut-imut nggak?” tanyanya sambil tersenyum malu. Ckckck, dasar cowok.
“Huh? Nggak tahu.”
“He, masak nggak tahu?!”
“Aku nggak suka cewek,” ucapku asal. Membuatnya sedikit tersentak kaget.
“Kau, kau suka cowok?”
Aku mengangkat sebelah alisku dan tersenyum simpul padanya. Ia sedikit bergidik. Membuatku terkekeh pelan. “Nggak juga…” jawabku.
“Eh, maksudnya?”
“Nggak ada maksud apa-apa. Cuman sekarang aku benci cewek gara-gara sesuatu.” Aku tahu, saat aku melontarkan kata ini, dia pasti akan menanyakan alasan kenapa aku membenci cewek.
“Kenapa?” Tepat seperti dugaanku. Aku menghela nafas pelan. Sebenarnya belum pernah sekalipun aku menceritakan apa pun perasaan yang kualami saat ini dengan siapapun. Tapi entah kenapa, aku merasa Reita adalah orang yang dapat dipercaya dan bukanlah tipe orang yang akan mengumbar-umbarkan sesuatu.
“Aku pernah pacaran. Dan pacarku itu meninggalkanku.”
“Ee?” pekiknya sedikit kaget, “Kok bisa?”
“Mungkin dia menganggap aku tidak agresif. Menggegam tangannya saja jarang. Lalu dia mulai mengincar cowok lain. Setelah dia mendapatkan cowok lain, dia meninggalkanku.”
“Tega sekali dia. Kalau aku jadi dia, aku tak akan berkhianat dan meninggalkanmu.”
“Sudahlah Rei, aku malas menceritakannya, pokoknya dia menyebalkan!” ucapku agak membentaknya. Dia agak terkejut dan hanya menggangguk pelan menanggapi perkataanku sambil bergumam ‘okay’. Lalu memilih diam agar tidak membuatku membentaknya lagi.
Sebenarnya dia tidak salah. Hanya karena aku kesal gara-gara teringat cewek menyebalkan itu aku jadi membentaknya. Aku menghela nafas dan memandangnya yang sedang menundukkan kepalanya. Terlihat sedang memikirkan sesuatu.
“Maaf.”
Aku sedang membuka mulutku dan belum sempat mengucapkan kata ‘maaf’, tapi kata itu sudah terlontar keluar olehnya.
Dia memandangiku balik. “Maaf, sudah membuatmu kesal,” lanjutnya.
“Bodoh, harusnya aku yang meminta maaf karena aku sudah membentakmu!” ucapku, lagi-lagi dengan nada sedikit membentak. Membuatnya tersenyum kecil, kemudian terkekeh pelan.
Menyadari kesalahanku sekali lagi, aku buru-buru minta maaf padanya, “Ah, maaf, maaf. Tuh kan, aku jadi membentakmu lagi,” ucapku malu.
“Ahahaha, nggak apa-apa kok. Justru mukamu lucu banget kalau pas lagi kesal.”
“Eh, mukaku nggak lucu!” lagi-lagi aku membentaknya. Seperti dia sudah terbiasa dengan bentakkanku karena dia malah kembali tertawa.
“Kau tahu Ruki, saat kau marah-marah begitu, kamu nggak sadar nggembungin pipimu ya?”
“Ha?” tanyaku heran. Nggembungin pipi? Perasaan aku hanya mencebilkan bibirku saja.
“Pipimu itu lho~ imuuuut~” ucapnya sambil tersenyum lebar. Kedua tangannya meraih pipiku. Mencubitnya pelan seperti anak kecil.
“Aw! Sakit tau!” Aku menyingkarkan tangannya dari pipiku. Sebenarnya sih tidak sakit. Hanya saja, rasanya aneh. Sudah lama tidak ada orang yang mencubit pipiku seperti.
“Kalau tidak percaya, aku akan memotret wajahmu yang lucu itu,” ucapnya sambil mengeluarkan ponsel di sakunya. Mataku terbelalak melihat ponselnya. Bukan karena aku tertarik dengan ponsel itu. Tapi karena ide lain yang baru saja terlintas di kepalaku.
“Kenapa kau nggak bilang kalau bawa ponsel dari tadi?”
“Hah? Kamu nggak nanya kok. Siap ya, mau aku foto~” Sepertinya dia tidak tahu apa yang aku maksud. Malah dengan bodohnya, dia mengarahkan kamera ponselnya ke arahku.
“Bodoooooh,” ucapku, sambil menutup kamera ponselnya dengan tanganku. “Kalau kau bilang bawa ponsel dari tadi kan kita bisa nelpon Uruha atau Kai buat bukain pintu.” Uruha dan Kai adalah dua sahabat dekatnya Reita, yang saat ini menjadi temanku juga gara-gara Reita. Memang aku bawa ponsel juga, tapi aku belum menyimpan nomor-nomor temanku yang baru dikarenakan phonebook milikku yang sudah full.
"Ah iya! Eh, tapi Ru, sekarang kan sedang pelajarannya Ozaki-sensei. Kau sendiri tau kan betapa galaknya dia,” ucap Reita sambil menyingkirkan tanganku dari ponselnya, memasukkan kembali ponselnya ke sakunya, kemudian menyandarkan badannya ke tembok di belakangnya.
“Kita tunggu saja sampai jam ganti pelajaran berdering,” ucapnya. Aku mengangguk menyetujui perkataannya.
“Kayaknya masih lama sampai bel jam ganti pelajaran berdering. Huaahh, aku ngantuk Rei, kamu tadi kesini nggak sekalian bawa bantal ya?” ucapku setengah bercanda. Tapi kuapku tidak bercanda. Angin yang sepoi dan langit yang berawan serta perut yang sudah kenyang membuatku benar-benar mengantuk.
“Mana sempat bodoh! Sini!” Tiba-tiba dia menarik kepalaku dan meletakkannya di atas pangkuannya. Mataku terbelalak karena kaget dengan tindakannya ini.
“Ehh, ta-tapi Rei…” Aku mencoba untuk mengangkat kembali kepalaku, tapi dia menahannya.
“Udah tidur aja. Katanya butuh bantal.”
Aku menghela nafas pelan dan berhenti melawannya. Aku menoleh kemudian menatap wajahnya. “Tapi kamu nggak apa-apa?” tanyaku, takut-takut kalau aku ini merepotkannya. Tapi dia hanya menggeleng pelan, kemudian tersenyum ke arahku.
“Nggak apa-apa,” jawabnya, sambil membelai kepalaku lembut. Aku menggigit pelan bibir bawahku, kemudian memalingkan pandanganku darinya. Aku tidak biasa orang lain melihatku tertidur. Tapi meskipun aku terbaring dengan punggung yang menghadap ke arahnya, Reita tetap membelai rambutku dengan lembut.
“Makasih, Rei,” ucapku pelan sebelum aku menutup mataku. Angin yang sepoi, langit yang berawan, perut yang kenyang dan sekarang ditambah dengan pangkuan Reita yang nyaman dan belaian lembutnya. Sangat nyaman hingga membuatku terlelap hanya dalam sekejap saja.
***
TBC~
pengen bikin penpik Reituki campur ichihitsu deh orz
Chapter: 1/??
Author: me
Genre: Fluff, Romance, Angst, AU High School
Warnings: none so far, written in Indonesian, slow update
Ratings: PG13-PG15
Pairing: ReitaxRuki(main), AoixRuki (later)
Summary: Ruki is a new student in Reita's class. (abaikan summary-nya LOL)
Disclaimer: I own Ruki as my mommy and Reita as my daddy. Yeah, I'm their foster child! #slaps XD
Comments: Anyone remember this fic? LOL~
***
Aku duduk memandangi langit yang berawan hari ini sambil memakan roti yang aku beli di kantin tadi. Menyandarkan punggungku di pagar pojok atap sekolah. Tidak terlalu mendung, tapi cukup membuat teduh tempat ini. Angin musim gugur bulan oktober yang bertiup mulai berhawa dingin. Aku sedikit merinding saat mereka menerpa kulit putih pucatku saat pertama kali membuka pintu di atap ini.
Sudah seminggu aku bersekolah disini dan berteman dengan seseorang yang cukup menarik perhatianku. Juga beberapa temannya telah menjadi ‘teman’ku. Ternyata dia anak yang cukup popular di sekolah ini. Sebenarnya aku benci anak yang popular. Karena setelah aku meninggalkan mereka, mereka pasti akan mendapat teman baru dan melupakanku dari ingatan mereka.
Mereka mendekatiku dan berteman denganku hanya karena aku anak baru dan tidak mau membiarkanku sendirian. Mereka ingin setidaknya aku memiliki teman dan tidak mau dianggap tak memperdulikan diriku. Aku tidak tahu apakah mereka terpaksa berteman denganku atau hanya karena kasihan aku tidak punya teman. Yah, kuladeni saja mereka, selayaknya seorang teman.
Aku membuka ponselku. Tak ada pesan. Tak ada panggilan tak terjawab. Aku mendengus pelan. Padahal seminggu yang lalu teman-teman lamaku itu sibuk menanyaiku bagaimana keadaan sekolahku yang baru. Sekarang, mereka sudah melupakanku. Melenyapkan segala tentang diriku di ingatan mereka. Mereka hanya menjadikan diriku sosok yang tak berarti yang singgah sekilas di kehidupan mereka yang lalu. Tak memiliki arti sama sekali.
Aku memasukkan lagi ponselku ke saku celanaku. Kembali memakan rotiku yang belum habis. Angin yang dingin kembali menerpaku. Memainkan rambut hitamku yang kucat sebagian dengan warna merah di bagian depannya. Semakin lama aku merasa terbuai di atap sekolah ini. Angin yang kurasakan sekarang tidaklah dingin, namun sejuk. Membuatku enggan mengangkat pantatku dari tempat ini.
Aku sedang hampir tertidur ketika seseorang membuka pintu atap sekolah dan meneriakkan namaku. Aku membuka kedua pelupuk mataku dan menemukan Reita berdiri tepat di depanku. Ia memanyunkan bibirnya, meletakkan tangannya di pinggangnya. Aku menatapnya. Terlihat dia bernafas sedikit terengah-engah.
“Ruki, sudah kubilang kan, jangan berkeliaran sendirian! Kau belum tahu seluk beluk sekolah ini kan? Bagaimana kalau kau tersesat? Bagaimana kalau kau masuk ke daerah kelas 3? Bagaimana kalau kau di-”
“Tenang Rei, aku baik-baik saja,” aku memotong perkataannya.Sungguh, terkadang dia sangat menyenangkan, terkadang pula dia menyebalkan seperti saat ini. Aku heran, kenapa aku bisa menerima seseorang ini menjadi temanku. Dan aku akui, hanya dia yang selama seminggu ini selalu bersamaku. Seseorang yang paling dekat denganku seminggu ini.
“Aku cemas padamu Ruki,” ucapnya sambil menghela nafas dan duduk di depanku.
Aku mengerutkan keningku. Menatap Reita heran. Hey Reita, aku hanya temanmu kan? Kenapa kau sebegitunya mencemaskanku? Dan, aku ini bukan tipe orang yang menyenangkan seperti dirimu, kenapa kau masih saja mau mengajakku ngobrol? Kenapa kau tidak bermain saja dengan teman-temanmu yang lain? Seharusnya jika kau terpaksa bersamaku, tinggalkan saja aku. Tak apa. Aku sudah biasa sendirian. Tapi, kenapa masih saja bersama denganku? Terlalu banyak pertanyaan kenapa. Dia membingungkanku.
“Tak usah cemaskan aku. Aku sudah cukup mengenal ruang-ruang di sekolah ini.”
“Ta, tapi… okelah,” katanya, sudah sedikit tenang. “Ngomong-ngomong kita dimana?”
“Di atap sekolah gedung sebelah timur,” ujarku mantab. Membuktikan padanya bahwa diriku sudah hapal tempat-tempat di sekolah ini.
Herannya, dia malah terbelalak kaget dan berteriak. “Atap gedung sebelah timur?!”. Kemudian berlari ke arah pintu atap sekolah. Ia terduduk lemas begitu melihat pintu atap sekolah itu tertutup dengan sempurna. Aku mendekatinya.
“Kenapa Rei?” aku menepuk pundaknya.
Dia menoleh. Memberikanku pandangan seperti hampir menangis.“Kau tahu Ruki, pintu atap sekolah gedung timur akan mengunci otomatis jika ditutup. Dan tidak bisa dibuka dari luar, hanya bisa dari dalam. Itu artinya, kita harus menunggu seseorang membukakan pintu untuk kita,” jelasnya.
Aku terdiam beberapa saat.
“Kau bercanda kan?” ucapku sambil mengguncangkan pundaknya. Sedikit memaksakan diri untuk tersenyum kalau benar dia hanya bercanda. Namun dia menggeleng dan mengangkat jari telunjuknya ke arah pintu.
“Buka saja kalau kau bisa,” Aku mengikuti kata-katanya. Kudekati pintu itu lalu kuputar kenop pintunya. Sial. Dia benar. Terkunci.
Aku membalikkan tubuhku dan bersandar di dinding sebelah pintu. Perlahan menjatuhkan pantatku di atas permukaan lantai. Aku menghela nafas dan kembali menatap Reita yang masih diam ditempatnya.
“Sepertinya kita harus membolos pelajaran dan singgah disini sampai ada yang membukakan pintu ini untuk kita,” ujarku lesu.
Reita mengangguk. Ia bangkit berdiri dan pindah duduk di sampingku. Meniru diriku menghela nafas.
“Nee, Ruki…” ucapnya memulai percakapan denganku. Aku mengangkat alisku.
“Ya?” jawabku.
“Umm, karena sepertinya kita bakal terkurung disini lebih lama, kalau boleh, umm, maukah kau ceritakan kisahmu di sekolah-sekolahmu sebelumnya?” tanyanya. Yah, pertanyaan yang bagus sekali untuk memulai percakapan dengan murid baru.
“Ha? Sekolahku sebelumnya?” tanyaku balik.
“Yup,” ia mengangguk.
“Tidak ada yang menarik,” jawabku singkat. Memang benar, tidak ada yang menarik. Mereka semua menyebalkan, mereka semua membosankan. Atau, akulah yang menyebalkan? Entahlah…
“Usoo~!! Keadaan tiap kota kan berbeda-beda, pasti ada yang menarik kan, Ruki?” tanyanya sambil memutar tubuhnya menghadapku.
“Nggak kok, tiap kota sama-sama ada orangnya, ada bangunannya, ada kuilnya, ada jalannya, ada sungainya, ada…”
“Duh, bukan ituuuu~,” potongnya. “Ehe, Ruki, ceweknya gimana? Imut-imut nggak?” tanyanya sambil tersenyum malu. Ckckck, dasar cowok.
“Huh? Nggak tahu.”
“He, masak nggak tahu?!”
“Aku nggak suka cewek,” ucapku asal. Membuatnya sedikit tersentak kaget.
“Kau, kau suka cowok?”
Aku mengangkat sebelah alisku dan tersenyum simpul padanya. Ia sedikit bergidik. Membuatku terkekeh pelan. “Nggak juga…” jawabku.
“Eh, maksudnya?”
“Nggak ada maksud apa-apa. Cuman sekarang aku benci cewek gara-gara sesuatu.” Aku tahu, saat aku melontarkan kata ini, dia pasti akan menanyakan alasan kenapa aku membenci cewek.
“Kenapa?” Tepat seperti dugaanku. Aku menghela nafas pelan. Sebenarnya belum pernah sekalipun aku menceritakan apa pun perasaan yang kualami saat ini dengan siapapun. Tapi entah kenapa, aku merasa Reita adalah orang yang dapat dipercaya dan bukanlah tipe orang yang akan mengumbar-umbarkan sesuatu.
“Aku pernah pacaran. Dan pacarku itu meninggalkanku.”
“Ee?” pekiknya sedikit kaget, “Kok bisa?”
“Mungkin dia menganggap aku tidak agresif. Menggegam tangannya saja jarang. Lalu dia mulai mengincar cowok lain. Setelah dia mendapatkan cowok lain, dia meninggalkanku.”
“Tega sekali dia. Kalau aku jadi dia, aku tak akan berkhianat dan meninggalkanmu.”
“Sudahlah Rei, aku malas menceritakannya, pokoknya dia menyebalkan!” ucapku agak membentaknya. Dia agak terkejut dan hanya menggangguk pelan menanggapi perkataanku sambil bergumam ‘okay’. Lalu memilih diam agar tidak membuatku membentaknya lagi.
Sebenarnya dia tidak salah. Hanya karena aku kesal gara-gara teringat cewek menyebalkan itu aku jadi membentaknya. Aku menghela nafas dan memandangnya yang sedang menundukkan kepalanya. Terlihat sedang memikirkan sesuatu.
“Maaf.”
Aku sedang membuka mulutku dan belum sempat mengucapkan kata ‘maaf’, tapi kata itu sudah terlontar keluar olehnya.
Dia memandangiku balik. “Maaf, sudah membuatmu kesal,” lanjutnya.
“Bodoh, harusnya aku yang meminta maaf karena aku sudah membentakmu!” ucapku, lagi-lagi dengan nada sedikit membentak. Membuatnya tersenyum kecil, kemudian terkekeh pelan.
Menyadari kesalahanku sekali lagi, aku buru-buru minta maaf padanya, “Ah, maaf, maaf. Tuh kan, aku jadi membentakmu lagi,” ucapku malu.
“Ahahaha, nggak apa-apa kok. Justru mukamu lucu banget kalau pas lagi kesal.”
“Eh, mukaku nggak lucu!” lagi-lagi aku membentaknya. Seperti dia sudah terbiasa dengan bentakkanku karena dia malah kembali tertawa.
“Kau tahu Ruki, saat kau marah-marah begitu, kamu nggak sadar nggembungin pipimu ya?”
“Ha?” tanyaku heran. Nggembungin pipi? Perasaan aku hanya mencebilkan bibirku saja.
“Pipimu itu lho~ imuuuut~” ucapnya sambil tersenyum lebar. Kedua tangannya meraih pipiku. Mencubitnya pelan seperti anak kecil.
“Aw! Sakit tau!” Aku menyingkarkan tangannya dari pipiku. Sebenarnya sih tidak sakit. Hanya saja, rasanya aneh. Sudah lama tidak ada orang yang mencubit pipiku seperti.
“Kalau tidak percaya, aku akan memotret wajahmu yang lucu itu,” ucapnya sambil mengeluarkan ponsel di sakunya. Mataku terbelalak melihat ponselnya. Bukan karena aku tertarik dengan ponsel itu. Tapi karena ide lain yang baru saja terlintas di kepalaku.
“Kenapa kau nggak bilang kalau bawa ponsel dari tadi?”
“Hah? Kamu nggak nanya kok. Siap ya, mau aku foto~” Sepertinya dia tidak tahu apa yang aku maksud. Malah dengan bodohnya, dia mengarahkan kamera ponselnya ke arahku.
“Bodoooooh,” ucapku, sambil menutup kamera ponselnya dengan tanganku. “Kalau kau bilang bawa ponsel dari tadi kan kita bisa nelpon Uruha atau Kai buat bukain pintu.” Uruha dan Kai adalah dua sahabat dekatnya Reita, yang saat ini menjadi temanku juga gara-gara Reita. Memang aku bawa ponsel juga, tapi aku belum menyimpan nomor-nomor temanku yang baru dikarenakan phonebook milikku yang sudah full.
"Ah iya! Eh, tapi Ru, sekarang kan sedang pelajarannya Ozaki-sensei. Kau sendiri tau kan betapa galaknya dia,” ucap Reita sambil menyingkirkan tanganku dari ponselnya, memasukkan kembali ponselnya ke sakunya, kemudian menyandarkan badannya ke tembok di belakangnya.
“Kita tunggu saja sampai jam ganti pelajaran berdering,” ucapnya. Aku mengangguk menyetujui perkataannya.
“Kayaknya masih lama sampai bel jam ganti pelajaran berdering. Huaahh, aku ngantuk Rei, kamu tadi kesini nggak sekalian bawa bantal ya?” ucapku setengah bercanda. Tapi kuapku tidak bercanda. Angin yang sepoi dan langit yang berawan serta perut yang sudah kenyang membuatku benar-benar mengantuk.
“Mana sempat bodoh! Sini!” Tiba-tiba dia menarik kepalaku dan meletakkannya di atas pangkuannya. Mataku terbelalak karena kaget dengan tindakannya ini.
“Ehh, ta-tapi Rei…” Aku mencoba untuk mengangkat kembali kepalaku, tapi dia menahannya.
“Udah tidur aja. Katanya butuh bantal.”
Aku menghela nafas pelan dan berhenti melawannya. Aku menoleh kemudian menatap wajahnya. “Tapi kamu nggak apa-apa?” tanyaku, takut-takut kalau aku ini merepotkannya. Tapi dia hanya menggeleng pelan, kemudian tersenyum ke arahku.
“Nggak apa-apa,” jawabnya, sambil membelai kepalaku lembut. Aku menggigit pelan bibir bawahku, kemudian memalingkan pandanganku darinya. Aku tidak biasa orang lain melihatku tertidur. Tapi meskipun aku terbaring dengan punggung yang menghadap ke arahnya, Reita tetap membelai rambutku dengan lembut.
“Makasih, Rei,” ucapku pelan sebelum aku menutup mataku. Angin yang sepoi, langit yang berawan, perut yang kenyang dan sekarang ditambah dengan pangkuan Reita yang nyaman dan belaian lembutnya. Sangat nyaman hingga membuatku terlelap hanya dalam sekejap saja.
***
TBC~
No comments:
Post a Comment