Thursday, July 21, 2011

[Fanfic] Ore wa homo janai! Reita/Ruki. PG-15. Chapter 2a

Title: Ore wa homo janai!
Chapters: 2a/3
Authors: CHISA
Fandom: J-Rock Visual Kei, the GazettE, Golden Bomber
Genre: AU, romance, fluff, humor as always
Warnings: Yaoi, fem!Kai, write in Indonesian, OOC, aneh, nakedness in this chapter, tapi bukan lemon~
Rating: PG-15 over all
Pairing: ReitaxRuki (AkiraxTakanori)
Summary: Suzuki Akira bukanlah dan tidak akan pernah menjadi seorang gay. Begitulah motto hidupnya selama ini. Tapi setelah bertemu dengan teman kakaknya yang seorang cowok yang mukanya sangat manis, Akira mulai merasakan debaran aneh di dadanya. #eeaaaa~
Disclaimer: I DON’T OWN THE GAZETTE. BUT I OWN THE STORYLINE. DO NOT STEAL OR I’LL BASH YOU.
Comments: Di ini penpik, anggap saja Reita itu mirip Daigo hidupnya XDD Ah, satu lagi, aku make nama asli Kai disini, Yutaka, dan eke ganti jadi Yutako. Kalo pembaca yg budiman mau ngebayangin Christine Yutako juga ga papa XDDD #tampared. Judulnya terinspirasi ama tweetnya nenekxaoi beberapa minggu silam yang mengutip kata-kata Nakatsu di Hanakimi~

***」」」」」」」」 o(~∇~*o)(o*~∇~)o 」」」」」」」」***

Akira buru-buru memasuki kamarnya dan membanting pintu kamarnya, membuat suara yang keras untuk kedua kalinya hari itu. Ia duduk bersandar di pintu kamarnya sambil memegangi dadanya yang saat ini berdebar kencang. Nafasnya sedikit memburu dan dahinya juga berkeringat. Seperti habis olahraga. Padahal ia hanya setengah berlari saat menuju kamarnya. Itu pun jarak dari ruang makannya tidak jauh. Apa debaran ini karena Takanori? Tidak, tidak mungkin, bantah Akira di dalam pikirannya.

Kalau dipikir-pikir, ia pernah merasakan debaran seperti ini. Kalau tidak salah, saat dia kelas empat SD. Waktu itu ada siswi pindahan dari Yokohama yang mukanya sangat cute. Setiap kali siswi itu tersenyum, pipi chubby-nya akan mengembung dan bersemu merah. Manis sekali. Persis dengan Takanori.

Tunggu dulu, pikir Akira. Apakah debaran yang dia rasakan saat ini karena Takanori memiliki senyum yang sama dengan siswi itu? Karena mereka berdua memiliki wajah yang cute dan senyum yang manis? Tidak, tidak, jangan menilai orang dari wajahnya, Akira. Bisa saja dibalik wajah inosen yang dimiliki Takanori itu sebetulnya dia sama saja dengan pria-pria yang bermuka dua di gay bar mengerikan itu. Bisa saja Takanori itu sama mesumnya dengan mereka, pria-pria homo yang menginginkan tubuhnya hanya untuk kepuasan nafsu semalam. Kau jangan sampai tertipu, Akira! Ujarnya mantab di dalam hati. Ya, bertingkahlah seperti biasanya. Anggaplah Takanori itu seperti staff kakakmu yang lainnya. Anggaplah Takanori itu seperti para pria gay di bar mengerikan itu. Jangan tergoda oleh senyuman manisnya. Jangan perdulikan omongan kakakmu dan para staffnya yang sama menyebalkannya dengan kakakmu itu. Kau itu tidak homo, Akira! Kau itu normal!

Setelah memantabkan hatinya dan dadanya tidak berdebar kencang lagi, Akira keluar dari kamarnya untuk kembali ke ruang makan dan berusaha bersikap seperti biasanya. Tapi ia lagi-lagi mematung di belokan tangga melihat pemandangan di depannya. Siapa lagi kalau bukan kakak perempuannya dan juga ketiga staffnya. Juga Takanori. Bersenda-gurau keluar dari ruang makannya. Takanori yang berjalan terakhir sepertinya menyadari keberadaan Akira di belokan tangga itu. Ia menoleh ke arah Akira dan memberikannya sebuah senyuman manis. Sangat manis. Itulah yang menyebabkan Akira mematung. Bahkan saat Takanori sudah berlalu bersama kakak perempuannya dan staffnya, ia masih saja mematung di belokan tangga itu. Dadanya kembali berdebar hebat. Ingat Akira, kau itu tidak homo! Kau itu normal! Kau itu suka perempuan! Tapi di dalam lubuk hatinya, ada sebuah suara yang menggoyahkan imannya. Oh yea? Kuso!

***」」」」」」」」 o(~∇~*o)(o*~∇~)o 」」」」」」」」***

Akira menggeliat di kamarnya. Langit yang terlihat di jendela kamarnya sudah gelap, menandakan kalau hari sudah memasuki waktu malam. Setelah makan siang tadi ia kembali ke kamarnya untuk menonton televisi namun tertidur saat menyaksikan pertandingan softball yang membosankan. Ia mengambil telepon genggamnya untuk melihat jam berapa sekarang. Pukul tujuh lebih empat puluh tiga menit. Akira tersenyum menatap layar telepon genggamnya. Kakaknya bekerja sampai pukul enam. Sudah pukul tujuh, itu berarti kakaknya berserta para staffnya pasti sudah selesai bekerja. Dan si Takanori itu pasti sudah pulang ke rumahnya.

Akira bangkit dan menuju lemari pakaiannya, bersiap-siap untuk mandi. Sambil bersiul-siul, ia mengambil kaos berlengan panjang, celana dalamnya, dan sebuah celana baggy panjang. Setelah keluar dari kamarnya, baru ia menyadari keanehan di dalam kamarnya. Televisi yang tadi menyala saat ia tertidur, sudah mati saat ia terbangun. Ia ingat ia tidak memrogram televisinya untuk sleep atau mati secara otomatis. Ia kembali memasuki kamarnya dan mengamati sekitar. Remote televisinya berpindah tempat yang seharusnya ada di kasurnya menjadi ada di meja belajarnya. Akira menutup pintu kamarnya dan berjalan menuju kamar mandi yang berada di lantai bawah sambil memikirkan siapa gerangan yang memasuki kamarnya tanpa seijinnya. Pasti kakaknya. Ya, siapa lagi kalau bukan dia? Si perempuan urakan yang selalu sembarangan itu. Tapi, untuk apa ia memasuki kamarnya? Untuk mengambil fotonya saat tertidur untuk diberikan kepada Takanori? Cih, sungguh kurang kerjaan sekali.

Tenggelam dalam pikirannya, Akira tidak menyadari bahwa kamar mandinya itu kini sedang dipakai. Ia meletakkan pakaiannya di tempat gantungan baju setelah mengunci pintu kamar mandi. Ia merasa keheranan melihat ada kaos miliknya yang bertengger di gantungan itu. Setaunya kaos itu baru empat hari yang lalu disetrika oleh ibunya. Apa kemarin saat ia mandi ia membawa dua kaos dan kemudian ia lupa membawanya kembali ke kamar. Hmm, mungkin saja. Dan di sebelah kaos itu ada sebuah celana jeans. Ukurannya terlalu kecil untuknya. Pasti milik nee-chan, pikir Akira. Akira membuka seluruh bajunya dan memasukkan baju kotornya ke dalam mesin cuci. Dengan bertelajang badan ia berjalan menuju bathtub dan menggeser pintu kaca yang menutupinya. Mungkin dengan berendam air hangat bisa membuatnya melupakan sejenak si Takano—

“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA~!!!!!!”

Mata Akira terbelalak lebar dan mukanya menjadi merah seketika ketika melihat siapa yang menjerit. Dadanya juga berdetak sangat cepat karena kaget kamar mandinya sedang ada yang memakai, padahal pintunya tidak dikunci. Dia lebih kaget lagi melihat siapa orang yang sedang memakai kamar mandinya itu. Takanori, sama seperti dirinya, telanjang bulat sedang keramas di kamar mandinya. Dengan cepat ia menggeser kembali pintu kaca yang di pegang Akira. Akira yang kalap hanya mampu mengucapkan “Ah-eh-ah-eh” kemudian menyambar handuk didekat gantungan baju dan melingkarkannya di pinggangnya. Dengan buru-buru ia berbalik ke pintu, mencoba keluar. Tapi belum sampai tangannya memegang kenop pintu, kenop itu bergerak-gerak dan ada seseorang yang mengetuk pintu dari luar. Akira semakin bingung ketika seseorang yang mengetuk pintu itu bersuara.

“Ada apa, Taka-chan?! Tadi aku dengar kamu menjerit keras sekali?!”

'Mampus aku,' batin Akira. Orang yang berada di luar adalah kakak perempuannya. Matilah dia kalau sampai ketauan sedang berada di dalam kamar mandi bersama Takanori dan mereka berdua sama-sama telanjang. Mau taruh dimana muka dia??? Keluar dari kamar mandi tidak aman. Tapi berada di dalam kamar mandi juga tidak aman. Ia telanjang. Takanori telanjang. Tinggal menunggu kapan Akira diserang oleh Takanori. Akira makin bingung mau lari kemana.

“Cu-Cuma kecoak kok, nee-chan!” jawab Takanori sedikit gugup. Ia sedikit membuka pintu kaca yang sedang menutupi badannya. Dari posisi Akira berdiri, yang terlihat hanyalah kepala Takanori, yang rambutnya masih penuh dengan busa shampoo dan tangannya memegang pinggiran pintu dengan erat, seolah-olah takut kalau Akira akan memaksa membuka pintu kaca itu. Wajahnya memerah. Seperti anak kecil, manis sekali. Akira rasanya ingin membelai wajah manis itu. Ah tidak! Tidak! Kenapa malah dia yang ingin menyerang balik si Takanori?! Sadar, Akira!!

“Oh, pukul saja pakai sikat toilet yang berada di dekat mesin cuci itu. Kamu tidak apa-apa kan?” tanya kakak perempuan Akira di seberang pintu. Membuat Akira sadar agar berusaha tetap diam atau ia akan ketauan.

“Y-ya, aku tidak apa-apa.”

“Yokatta. Kalau sudah langsung saja ke ruanganku ya.” Selesai mengatakan itu, terdengar suara langkah kaki menjauhi pintu kamar mandi. Mengetahui kakak perempuannya sudah berlalu, Akira menghela nafas panjang yang ternyata sedari tadi ia tahan sambil menepuk-nepuk dadanya yang berdetak sangat cepat.

“K-kau sekarang bisa keluar, S-Suzuki-kun,” ucap Takanori malu-malu, membuat Akira menoleh kepadanya. Tak disangkanya, Takanori ternyata mengetahui bahwa ia tadi takut keluar dari kamar mandi gara-gara ada kakak perempuannya diluar. Ya, ia merasa sudah aman sekarang untuk keluar dari kamar mandi karena kakak perempuannya itu sudah pergi. Tapi ia sudah terlanjur telanjang dan ia malas memakai kembali bajunya yang kotor. Ia juga tak mau mengotori bajunya yang bersih. Di lantai atas sebenarnya ada kamar mandi juga. Tapi hanya toilet dan sebuah kran. Bukan bathtub ataupun shower seperti yang di lantai bawah. Lagipula, kalau dipikir-pikir, Takanori pasti mandinya tidak akan lama.

Dengan berat hati akhirnya ia bersender pada mesin cuci dan berkata, “It’s okay. Aku akan menunggumu hingga selesai.”

“Eh? T-tapi…” Muka Takanori semakin memerah. Ia menggigit bibir bawahnya, tampak sedang berpikir. Akira melihat ke arah bibir plump Takanori yang sedang digigitnya. Ia menelan ludah, berusaha menahan diri untuk tidak melakukan hal bodoh seperti tiba-tiba mencium bibir plump yang sangat menggoda imannya itu. “Err, b-baiklah kalau begitu.”

Muka manis Takanori yang memerah menghilang di balik pintu kaca yang kini kembali menutupi bathtub. Sementara Takanori kembali meneruskan mandinya, Akira berusaha untuk tidak melihat pintu kaca tepat di depan ia bersender, namun gagal. Pintu kaca yang jaraknya tidak lebih dari satu meter di depannya itu memang tidak tembus pandang. Tapi Akira bisa melihat bayangan tubuh Takanori di balik pintu kaca itu meskipun agak blur, membuat dadanya semakin berdebar. Lekuk-lekuk tubuh Takanori terlihat agak jelas. Gulp! Lagi-lagi Akira menelan ludah. Ada perasaan yang tidak enak menjalar di bawah perutnya. Ditambah ia malah mengingat kejadian tadi saat ia  tidak sengaja membuka pintu kaca itu. Ia masih ingat tubuh Takanori yang tidak berbalut apapun itu. Sangat menggoda. Kulitnya putih, badannya kecil, dan terlihat mulus. Persis seperti milik anak perempuan. Sempurna. Mungkin cacatnya hanya pada beberapa tanda lahir yang tadi terlihat di punggungnya dan juga sekitar pundaknya. Tapi itu malah semakin membuat indah tubuhnya. Ingin rasanya Akira menyentuh badan itu untuk memastikan apakah benar-benar mulus atau tidak. Kalau betul memang mulus, pasti akan sangat pleasure menciumi badannya. Menjilatinya, kemudian menghisapnya. Tubuh seputih itu, pasti jadi mudah untuk membuat kissmark diman—

‘Argh! Tidak tidak tidak tidak tidak!!! Sadar, Akira! Sadar!!!’ teriak Akira di dalam batinnya sambil menjambaki rambutnya sendiri dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Buru-buru ia mengusir pikiran kotornya itu sebelum memberikan efek pada tubuhnya. Namun, sepertinya terlambat. Ia melihat ke bawah, tepatnya ke arah selangkangannya yang tertutupi oleh handuk. Sebuah tonjolan, terlihat lumayan jelas. ‘Sial! Ini lagi junior pake acara berdiri segala. Argh!’ Akira face palmed.

Lima menit berlalu tanpa ada yang berbicara. Yang ada hanyalah suara percikan air dari shower yang sedang dipakai oleh Takanori. Untungnya handuk di kamar mandi itu ada lebih dari satu. Jadi Akira tidak perlu bingung-bingung mencopot  handuk yang sedang dipakainya. Dengan malu-malu Takanori meminta tolong Akira untuk mengambilkan handuk yang berada di gantungan. Begitu pintu kaca dibuka dan Takanori mau keluar, Akira buru-buru memasuki tempat shower dan bathub. Karena lantai kamar mandi yang licin, ia terpeleset dan menimpa Takanori. Keduanya terjatuh lumayan keras.

“Ite…” Takanori mengaduh karena kepalanya terbentur lantai dan tubuh Akira yang lebih besar menindihnya. Ia mengusap-usap kepala bagian belakangnya yang sakit.

Akira perlahan membuka matanya dan mengangkat wajahnya. Wajahnya memerah begitu ia tahu bahwa barusan ia jatuh menimpa Takanori dan ia mukanya tepat berada di atas dada Takanori. Pantas saja ia merasa empuk dan memang kulit Takanori begitu mulus saat wajahnya tidak sengaja bergesekan dengan dadanya tadi saat terjatuh. Argh! Bukan saatnya memikirkan yang tidak-tidak, Akira!

“Go-gomen ne, Matsumoto-kun!” Dengan cepat-cepat Akira berdiri sambil meminta maaf ke Takanori dan membantu Takanori untuk berdiri. Takanori baru memegang uluran tangan Akira ketika handuk yang melingkar di pinggang Akira copot dan terjatuh. Membuat aset kebanggaan milik Akira yang sedang setengah berdiri terlihat. Tepat di depan muka Takanori karena posisi Akira yang sedang berdiri dan Takanori terduduk di lantai. Mata Takanori terbelalak. Akira memandangi ke bawah. Satu detik, dua detik, tiga det—

“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA~
!!!!!!”

Sementara itu Yutako yang sedang tidak sengaja melewati depan kamar mandi hanya berkomentar, “Sudah kubilang kan Taka-chan, pukul saja pakai sikat toilet!”

***」」」」」」」」 tsuzuku 」」」」」」」」***

A/N: nih eke cepetin apdetnya~ baik kan saya? baik kan~? "ヽ(´▽`)ノ"  Wwwwwww #plakk lagi nganggur sih aslinya kelamaan liburan
Next chapter sabar ya~~ eke mau belajar dulu, minggu besok ada ujian masuk, mohon doa restunya biar bisa ngerjain en diterima ya~ m(;_;)m
Sankyuu udah baca~ (。・ω・)ノ~♪

No comments: