Saturday, August 27, 2011

[Fanfic] Ore wa homo janai! Reita/Ruki. PG-15. Chapter 2b

Title: Ore wa homo janai!
Chapters: 2b/3
Authors: CHISA
Fandom: J-Rock Visual Kei, the GazettE, Golden Bomber
Genre: AU, romance, fluff, humor as always
Warnings: Yaoi, fem!Kai, write in Indonesian, OOC, aneh
Rating: PG-15 over all (agak R)
Pairing: ReitaxRuki (AkiraxTakanori)
Summary: Suzuki Akira bukanlah dan tidak akan pernah menjadi seorang gay. Begitulah motto hidupnya selama ini. Tapi setelah bertemu dengan teman kakaknya yang seorang cowok yang mukanya sangat manis, Akira mulai merasakan debaran aneh di dadanya. #eeaaaa~
Disclaimer: I DON’T OWN THE GAZETTE. BUT I OWN THE STORYLINE. DO NOT STEAL OR I’LL BASH YOU.
Comments: Di ini penpik, anggap saja Reita itu mirip Daigo hidupnya XDD Ah, satu lagi, aku make nama asli Kai disini, Yutaka, dan eke ganti jadi Yutako. Kalo pembaca yg budiman mau ngebayangin Christine Yutako juga ga papa XDDD #tampared. Judulnya terinspirasi ama tweetnya nenekxaoi beberapa minggu silam yang mengutip kata-kata Nakatsu di Hanakimi~
 
***」」」」」」」」 o(~∇~*o)(o*~∇~)o 」」」」」」」」***

Takanori duduk di kursi ruang makan masih dengan gelisah. Mukanya masih memerah, mirip dengan kepiting rebus. Setelah kejadian ‘kecoak’ tadi di kamar mandi, ia langsung memakai baju yang sudah disiapkan oleh Yutako kemudian buru-buru keluar. Untungnya saat dia keluar tidak ada siapa-siapa disana. Ia menghela nafas dan mencoba menstabilkan detak jantungnya. Memang benar kalau dia itu seorang gay, tapi baru kali ini dia bertatapan langsung dengan alat reproduksi pria selain miliknya sendiri dan dalam keadaan setengah ehem, tegang. Dia mengakui, kalau milik Akira besar. Lebih besar dari miliknya. Terpampang dengan gagah di depan matanya. Takanori menyembunyikan kepalanya dibalik kedua lengannya. Saat ini ia yakin sekali mukanya pasti semakin memerah. Sebuah tepukan di pundaknya membuat ia kembali mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah orang yang menepuknya.

“Kau sakit, Taka-chan? Mukamu merah sekali,” tanya Yutako cemas. Sejak selesai mandi tadi tingkah Takanori sedikit aneh. Ia tidak sempat bertanya padanya saat di ruang kerjanya tadi karena mereka semua sibuk mengejar deadline manganya. Kini, mereka berada di ruang makan. Ibunya yang sudah pulang dari bekerja memanggilnya serta semua staffnya untuk makan malam bersama. Termasuk adiknya yang keras kepala itu, Akira, yang tingkahnya sama anehnya dengan Takanori.

“Err..” Takanori memandang sekilas Akira yang sepertinya tak nyaman duduk di depannya. Ia menggaruk-garuk pipinya dengan telunjuk jarinya, mencari-cari alasan yang tepat agar Yutako tidak curiga lagi padanya. “Aku baik-baik saja nee-chan. T-tadi air di bathtub terlalu hangat dan aku kelamaan berendam, jadi wajahku masih memerah sampai sekarang.”

“Oh, begitu. Ngomong-ngomong, kecoaknya sudah berhasil kau pukul sampai mati, kan?”

Mendengar pertanyaan itu, Takanori meringis terpaksa. “H-hehe, sudah.”

“Baguslah kala—“

“Yucchan, Aki-chan, bantu Kaa-san sini nak!” suara seorang wanita memotong pembicaraan Takanori dan Yutako. Yutako dan Akira, yang merasa dipanggil oleh ibunya langsung beranjak berdiri dan membantu ibu mereka. Akira membawa sebuah panci dengan air panas setengah penuh di dalamnya, kemudian diletakkannya panci itu di atas electric cooker di tengah-tengah meja makan. Sedangkan Yutako dan ibunya membawa piring-piring berisi sayuran, tofu, dan daging sapi. Mereka akan menyantap sukiyaki malam ini.

Sementara Nyonya Suzuki yang dibantu ketiga staff Yutako menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasukkan ke dalam panci, Yutako memandangi Akira yang sedang sibuk mengocok telur mentah sebagai pelengkap sukiyaki.

“Aki-chan, bisakah kau mengantar Taka-chan ke apartemennya malam ini?”

Tluk. Dua buah sumpit yang dipegang Akira langsung jatuh ke meja makan. Untung saja bukan mangkok yang dia pegang di tangan kirinya yang jatuh. Akira mengambil kembali sumpitnya yang jatuh sambil memandangi kakaknya dengan tatapan kaget dan setengah tidak percaya.

“Ba-barusan kau bilang apa?”

“Antar Taka-chan ke apartemennya untuk mengambil baju ganti, dia akan menginap disini sampai hari deadline mangaku.”

“HAAAAAH???”

“Ayolah Aki-chan, kau kan satu-satunya laki-laki disini selain Taka-chan. Masa kau tega membiarkanku malam-malam begini yang mengantarkan dia. Kalau kami diserang preman bagaimana?”

“Nee-chan, kalau Suzuki-kun tidak mau biar aku pulang sendiri saja. Lagipula apartemenku tidak jauh kok,” sela Takanori. Memang tadi saat di ruang kerja milik Yutako, Yutako menyuruh para staff untuk menginap saja selama tiga hari ini mengingat deadline yang sangat dekat dan masih banyaknya kerjaan yang belum selesai. Takanori yang tidak menyangka akan menginap hari ini, tentunya tidak menyiapkan apapun. Terutama baju ganti. Sedangkan ketiga staff Yutako yang lain, mereka sudah sering menginap disini jadi baju ganti mereka ada lumayan banyak di kamar Yutako.

“Tapi Taka-chan, aku cemas padamu. Aku tahu badanmu ini lemah dan kau gampang sakit kan?”

“Aki-chan, kau antarkan Taka-chan atau kau tidak dapat jatah makan malam hari ini,” nyonya Suzuki yang mendengar pembicaraan kedua anaknya dan Takanori tiba-tiba menngancam Akira agar kedua kakak beradik itu berhenti berdebat.

“Ah, Kaa-san, kalau Suzuki-kun tidak mau tidak apa-apa kok. Aku juga tidak mau merepotkan dia,” ucap Takanori. Sebenarnya ia tidak mau membantah nyonya Suzuki yang semenjak kepulangan beliau dari kerja sangat baik kepada dirinya. Tapi ia tahu kalau saat ini pasti Akira sedang tidak mau dekat-dekat dengannya gara-gara kejadian tadi.

“Kau tidak usah cemas, Taka-chan. Aki-chan tidak merasa direpotkan kok. Iya kan, Aki-chan?”

Akira yang mendengar statement dari ibunya hanya mampu pasrah. Kalaupun ia membantah, ia yakin pasti ia akan kalah. Sama seperti kakaknya, ibunya itu adalah orang yang pemaksa. Lagipula sebenarnya Akira tidak berani membantah ibunya karena Akira sangat menyayangi ibunya itu yang telah mengurusinya setelah bercerai dengan ayahnya.

Akira menghela nafas pelan kemudian mengangguk, berharap perjalanan mengantarkan Takanori ke apartemennya akan berjalan baik-baik saja. Tidak ada kecelakaan seperti tadi saat di kamar mandi. Ya, semoga. “Baik, kaa-san. Aku akan mengantarkan Matsumoto…” ucapnya akhirnya.
 
***」」」」」」」」 o(~∇~*o)(o*~∇~)o 」」」」」」」」***

Angin dingin berhembus tepat di wajah Akira. Membuat Akira sedikit menggigil. Ia agak menyesal memakai jaket yang lengannya tidak memiliki karet. Karena angin dingin masuk ke dalam lengannya yang terbuka. Padahal ia mengayuh sepedanya dengan santai, tapi angin berhembus lumayan kencang. Takanori yang duduk di belakangnya pun daritadi hanya diam. Akira yang merasa tidak enak dengan aura mereka berdua, akhirnya memecahkan kebisuan diantara keduanya.

“Apartemenmu itu, sebelah kirinya minimarket lottemart kan?”

Takanori yang sedang bermain dengan syalnya, mengakat wajahnya dan memandangi punggung Akira. “Ya.”

Kembali diam. Akira tak tahu bagaimana caranya untuk memulai obrolan. Sebenarnya banyak sekali topik yang dapat dibicarakan karena mereka berdua baru saja kenal. Hobi salah satu contohnya. Tapi kembali lagi ke awal paragaraf, Akira tidak tahu bagaimana caranya untuk memulai obrolan. Tenggelam dalam pikirannya, Akira tidak menyadari Takanori mengatakan sesuatu.

“…af,…kun”

“Hah?”

“Kejadian tadi di kamar mandi, aku minta maaf.”

Akira langsung memerah. Untung saja saat ini Takanori ada di belakangnya jadi dia tidak bisa melihat muka Akira yang sedang bersemu. “Bukan salahmu, aku yang salah. Harusnya aku yang meminta maaf karena aku yang seenaknya saja masuk. Aku tidak tahu ada kau di dalam.”

“T-tidak, aku yang salah. Tadi aku ketumpahan tinta. Nee-chan menyuruhku mandi dan jangan mengunci pintu karena dia akan masuk membawakan baju ganti untukku. Jadi sementara aku membersihkan rambutku dari tinta, nee-chan masuk dan aku lupa mengunci kembali pintunya. Lalu kau masuk kemudian, kemudian, yah… kau… kau tahu sendiri, kan?”

“Berhenti menyalahkan dirimu. Ini salah kita berdua, oke?”

Takanori mengangguk pelan. Sadar Akira tidak bisa melihatnya, ia akhirnya bergumam, “Ya.”

Diam lagi. Tapi tidak berlangsung lama karena saat Akira sedang mencari bahan pembicaraan, Takanori sudah duluan mengatakan sesuatu. “Keluargamu sungguh menyenangkan ya, Suzuki-kun. Kakakmu baik dan pengertian, ibumu juga ramah dan penyayang. Kau beruntung memiliki keluarga seperti mereka.”

Akira mendengus pelan. “Beruntung apanya, mereka itu pemaksa dan menyebalkan. Tadi kau dipaksa ibuku untuk makan sampai tiga kali kan? Apa kau nggak merasa kalo tadi itu menyebalkan?”

“Tidak. Aku malah senang diperhatikan seperti itu.”

“Kau itu aneh.”

“Sudah lama aku tidak makan malam bersama keluargaku.”

“Emang kelu—”

“AH! STOP!”

Takanori berteriak menyuruh Akira untuk menghentikan laju sepedanya. Spontan Akira mengerem sepedanya, membuat Takanori menubrukkan wajahnya ke punggung Akira. Hampir saja mereka keblablasan melewati bangunan apartemen milik Takanori. Mereka berhenti tepat di depan sebuah apartemen sederhana tingkat empat. Sambil mengusap-usap hidungnya yang tadi menubruk punggung Akira, Takanori turun dari sepeda dan menunggu Akira memarkirkan sepedanya. Tapi bukannya memarkirkan sepedanya, Akira hanya berpindah tempat duduk ke tempat duduk yang tadi diduduki oleh Takanori. Sadar Takanori masih berdiri di dekatnya, Akira bertanya, “Kau ngapain masih disini? Katanya mau ngambil baju?”

“Kau nggak ikut masuk?”

“Eh?”

“Di luar dingin. Kau bisa sakit, Suzuki-kun.”

“Eh? Umm? Err.. baiklah.”

“Parkir sepedamu di sebelah tangga, jangan lupa dikunci.”

“O-okay,” ucap Akira gagap. Ia tidak menyangka bahwa Takanori akan mengajaknya masuk ke apartemennya. Tadinya dia mengira Takanori akan langsung masuk ke apartemennya untuk mengambil baju-baju gantinya sementara dia menunggu di luar. Tapi dia salah besar. Selesai mengunci sepedanya, ia mengikuti Takanori menaiki tangga menuju lantai tempat tinggal Takanori berada. Lantai koridor apartemen itu tampak jarang dibersihkan. Dindingnya tampak kusam seperti tidak pernah dicat selama bertahun-tahun. Lampu penerangan koridor menyala redup. Takanori berhenti di depan pintu yang disampingnya terdapat label nama Matsumoto Takanori dalam huruf kanji. Seekor kucing hitam dengan sedikit belang putih tiba-tiba melompat dari pagar di depan pintu kamar dan berjalan mendekati Takanori, membuat Akira sedikit tersentak kaget.

“Halo, Mi-chan, kangen padaku ya?” ucap Takanori kepada kucing itu sambil membelai kepala kucing itu pelan kemudian merogoh sakunya untuk mencari kunci apartemennya. Sementara ia berusaha membuka pintu, kucing hitam tadi mengusap-usapkan kepalanya di kaki Takanori sambil mengeong kecil. Takanori membuka pintu apartemennya, menyalakan lampu dan menyuruh Akira masuk. Kucing hitam yang bernama Mi-chan itu mengikuti mereka berdua masuk ke apartemen milik Takanori. Ruangan apartemen itu kecil. Sangat kecil. Di samping pintu masuk ada dapur kecil dan sebuah pintu yang Akira yakini adalah pintu kamar mandi. Lebih masuk lagi ada ruangan sebesar kira-kira 4x3 meter. Di pojok sebelah kiri ada sebuah futon kecil untuk satu orang. Di depannya ada sebuah computer desk yang penuh dengan action figure dan rak penuh manga diatasnya. Di sebelah computer desk terdapat lemari dua pintu yang tingginya kira-kira satu meter, sedangkan di sebelah futon, ada rak lagi yang terisi buku-buku, CD-CD, pigura-pigura, dan alat-alat rumah tangga yang tersusun sangat rapi. Di pojok sebelah kanan terdapat beberapa buah kanvas yang disenderkan ke tembok. Beberapa kanvas sudah dipoles dengan polesan warna-warni yang membentuk suatu lukisan yang sangat artistik dan indah. Di atas lemari tersusun secara rapi peralatan yang digunakan untuk melukis. Di tengah-tengah terdapat meja kecil yang diletakkan di atas karpet biru muda. Meskipun ruangan itu kecil, tapi semuanya tersusun sangat rapi. Juga bersih, tidak seperti keadaan di luar ruangan itu yang sedikit kotor dan menyeramkan.

“Duduklah, aku akan mencari tas dulu untuk menampung pakaian-pakaianku. Kau ingin minum apa, Suzuki-kun?”

“Nggak usah,” jawab Akira. Ia duduk di atas karpet biru tadi menghadap ke futon. Kucing hitam yang ikut masuk bersama mereka berdua mengikuti Akira duduk di sampingnya. Takanori yang melesat masuk ke ruangan yang Akira yakini sebagai kamar mandi tadi keluar sambil membawa tas ransel yang cukup besar. Kemudian ia duduk di depan lemari. Sambil mengeluarkan barang-barang yang terdapat di dalam tas ransel tersebut dan meletakkannya di atas meja kecil, Akira mengajaknya mengobrol untuk mencairkan suasana.

“Kau tinggal sendirian?”

“Ya.”

“Dimana orang tuamu?”

Takanori yang sedang membuka resleting tas ranselnya tiba-tiba diam. Kemudian tersenyum kecil dan menjawab, “Aku ini sudah 20 tahun. Jadi aku memutuskan untuk hidup sendiri.”

“Eeeh? Umurmu 20 tahun????” Tanya Akira kaget. Ia tak percaya bahwa laki-laki berparas manis dan berperawakan lebih pendek dari dirinya itu ternyata lebih tua darinya.

“Hehehe, iya. Kau kira umurku berapa?” ucap Takanori sembari tersenyum. Akira memalingkan wajahnya, malu.

“15 tahun.”

“Hahaha, aku tidak semuda itu Suzuki-kun,” kali ini Takanori terkekeh pelan. Membuat kedua pipinya mengembung lucu sekali. Menggemaskan sekali. Sungguh Akira ingin sekali mencubit kedua pipi yang seperti buah tomat itu kemudian membelai permukaannya yang halus dan mulus. Aduh, jangan biarkan homo merajai pikiranmu, Akira!

“Kucing hitam ini piaraanmu?” tanya Akira mengalihkan pembicaraan sambil mengelus kepala kucing itu.

Takanori yang berhenti tertawa kembali memeriksa isi tas ranselnya menggeleng pelan. “Bukan, dia kucing tetanggaku. Tapi aku sering memberinya makan.”

“Oh.” Akira memperhatikan barang-barang yang dikeluarkan Takanori dari tas ranselnya. Peta, buku catatan kecil, pena, potongan koran bagian iklan apartemen, tisu, dan beberapa uang receh. Sesuatu yang terselip di antara halaman buku catatan menarik perhatian Akira. Ia menarik keluar sesuatu yang ternyata dua lembar foto itu dan memandanginya dengan heran. Foto yang pertama berukuran 3R, memperlihatkan sebuah keluarga dengan setting pantai. Sang ayah tersenyum sambil membawa keranjang piknik. Di sampingnya berdiri sang ibu yang juga tersenyum sambil membawa payung berwarna biru muda. Di depan keduanya terdapat dua orang anak laki-laki. Yang lebih tinggi melingkarkan sebuah lengannya di pundak yang lebih pendek. Keduanya tersenyum sangat lebar dan tangannya menunjukkan peace sign. Akira megira-ira wajah anak laki-laki yang badannya lebih pendek itu adalah Takanori. Meski di foto itu badan anak yang lebih pendek sedikit gemuk, tapi senyum lebar milik anak itu mirip dengan senyum milik Takanori. Akira sekarang jadi tahu alasan kenapa pipi Takanori terlihat tembem padahal badannya kurus. Foto yang kedua berukuran lebih kecil dan yang biasa diambil dari purikura. Foto kedua memperlihatkan Takanori bersama seorang laki-laki tampan berambut hitam yang sedang menciumnya di pipi. Muka Takanori yang sedang tersenyum terlihat sangat manis di foto itu. Entah kenapa, hati Akira merasa kesal memandangi foto yang kedua. Ia merasa kesal memandangi laki-laki berambut hitam yang mencium Takanori di foto itu. Ia merasa kesal karena ia cemburu. Eh, bukan, bukan! Ia merasa kesal karena Takanori benar-benar seorang gay. Jadi ia harus berhati-hati sekarang kalau berdekatan dengannya. Ya, ia merasa kesal pasti gara-gara itu. Tapi bibirnya, tanpa ia perintah, tiba-tiba berbicara.

“Siapa yang di foto ini, Matsumoto-kun?”

Takanori yang sedang memasukkan beberapa bajunya menghentikan aktivitasnya dan mendekati Akira. Akira sendiri kaget dengan perkataannya barusan. Bukan maksud dia untuk mencampuri kehidupan Takanori, tapi ia sungguh-sungguh ingin tahu siapa laki-laki di foto itu. Akira memandangi Takanori dengan perasaan was-was, takut kalau dia marah akibat pertanyaan tadi. Tapi Takanori hanya terdiam saat melihat foto yang ditunjuk oleh Akira, kemudian tersenyum pahit. “Itu fotoku bersama keluargaku. Dan yang satunya…” Takanori memandangi foto dirinya yang sedang dicium oleh laki-laki berambut hitam dengan pandangan yang sedih. “Aku dan pacarku.”

JDEER!!!

Mendengar pernyataan dari Takanori barusan benar-benar membuat Akira semakin merasa kesal. Tiba-tiba ia merasa seperti sedang tertindih batu yang berat. Ia kesal sekali sampai-sampai ingin merobek foto di depannya itu. Ia tidak tahu ada apa dengan dirinya, tapi mendengar Takanori sudah memiliki pacar membuat hatinya benar-benar sakit. Sakit sekali. Padahal harusnya dia merasa senang kan? Dengan begitu kakaknya itu pasti tidak akan memaksanya lagi dekat-dekat dengan Takanori. Tapi ia kaget mendengar suaranya sendiri yang terdengar sangat kecewa sekali saat merespon perkataan Takanori

“Oh.”

“Lebih tepatnya mantan pacar sih,” lanjut Takanori.

“EEEEEEH?!” Akira yang terkejut langsung menoleh ke arah Takanori dan memandangnya heran. Batu yang tadi menindihnya tiba-tiba hilang. Lagi-lagi perasaannya aneh, ia merasa senang sekali mengetahui kalau laki-laki yang mencium Takanori di foto itu bukan lagi pacarnya Takanori. Yah, meskipun kenyataannya kalau laki-laki itu sudah pernah singgah di hati Takanori masih membuat hatinya sedikit merasa kesal dan cemburu. Itu berarti Takanori single dan kesempatan untuk mendekati Takanori terbuka lebar.

Plak! Akira langsung menyadarkan pikirannya yang mulai teracuni virus homo dari kakaknya dengan menampar pipinya sendiri. Sadar Akira! Takanori itu seorang laki-laki! Masa jeruk makan jeruk!

“Kau kenapa, Suzuki-kun?”

“Ehehe, tadi ada nyamuk di pipiku,” jawab Akira asal. Takanori tersenyum kecil melihat tingkah Akira, kemudian memandang kembali kedua foto di depannya. Lagi-lagi dengan tatapan yang menunjukkan kesedihan. Akira yang melihatnya jadi ingin membelai rambut Takanori. Argh, tahan nafsumu, Akira!

Tiba-tiba Takanori kembali memandang Akira, membuat Akira yang tidak biasa dipandang dengan ekspresi sedih seperti itu merasa sedikit risih dan gugup.

“Bisakah aku mempercayaimu, Suzuki-kun?” tanya Takanori pelan. Awalnya Akira hanya mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan itu. Tapi kemudian, tanpa ragu ia mengangguk dan menjawab, “Ya.”

Lagi Takanori tersenyum. Tapi kali ini senyum yang sangat manis, membuat jantung Akira tiba-tiba berdetak semakin cepat dan wajahnya memanas. Sepertinya Takanori tidak menyadari muka Akira yang kini memerah karena setelah itu ia mengambil foto keluarga di meja di depannya itu kemudian mendekatkan foto itu ke arah Akira.

“Ini ayah dan ibuku,” ucap Takanori sambil menunjukkan foto ayah dan ibunya dengan jari telunjuknya secara bergantian.

“Ini aku,” telunjuknya berpindah ke foto dirinya yang saat itu masih berusia sembilan tahun. Jari telunjuknya tepat berada di atas kepala anak laki-laki yang lebih pendek seperti yang Akira duga sebelumnya. Kemudian telunjuknya berpindah ke anak laki-laki yang lebih tinggi.

“Ini kakakku, Daichi. Dia sepuluh tahun lebih tua dariku. Sekarang dia sudah berkeluarga dan tinggal di Tokyo, bekerja sebagai pegawai di salah satu perusahaan yang cukup besar disana. Lalu orang tuaku…”

Akira yang menyadari bahwa Takanori berhenti berbicara kemudian menoleh kepadanya. Dilihatnya mimik muka Takanori yang lagi-lagi terlihat sedih. Setelah menghela nafas kecil, Takanori meneruskan kembali perkataannya.

“Sebenarnya aku sedikit berbohong kepadamu tadi, Suzuki-kun. Aku hidup sendirian bukan karena kemauanku. Tapi, aku diusir dari rumah oleh ayahku 3 tahun yang lalu. Aku dipaksa ayahku untuk masuk kuliah jurusan kedokteran. Padahal aku sangat menyukai melukis. Saat tes masuk perguruan tinggi, bukannya belajar tapi aku terus melukis di kamarku. Saat itu aku melukis untuk mengajukan beasiswa di sekolah seni di Tokyo. Pikirku, mungkin jika aku mendapatkan beasiswa ayahku akan berhenti memaksaku untuk studi kedokteran. Tapi kenyataannya tidak. Dia marah kemudian memukuliku dan mengacak-acak kamarku beserta lukisan-lukisanku. Ketika ia membawa sedang lukisan-lukisanku untuk dibakar, aku mencegahnya dengan memegangi kakinya. Tapi itu malah menyebabkan ayahku terjatuh kemudian kepalanya terbentur pintu kamarku. Kepalanya berdarah dan saat itu juga aku ditampar dan diusir.”

Takanori berhenti sejenak. Tangannya berpindah dari foto keluarganya ke foto dia dengan mantan kekasihnya. Kemudian ia melanjutkan kembali ceritanya, “Setelah diusir aku berniat meminta tolong pada pacarku untuk mencarikanku tempat tinggal. Tapi saat aku sampai di apartemennya, aku melihat dia sedang bercumbu dengan seorang gadis di depan pintu apartemennya dengan sangat mesra sampai-sampai ia tidak menyadari kedatanganku. Aku sungguh-sungguh kecewa dengannya. Ternyata dia diam-diam mempermainkan perasaanku. Tapi aku cukup senang sudah memukulnya sampai hidungnya berdarah, ahahaha.”

“Saat itu aku benar-benar tak tahu harus bagaimana. Aku tidak mempunyai relasi di kota ini dan aku tidak membawa uang yang banyak. Tiga hari aku harus tidur di jalanan. Hingga aku menolong nenek pemilik Mi-chan dan beliau memberikan apartemen ini untukku dengan harga sewa yang murah. Setelah itu aku mulai bekerja di berbagai toko yang entah kenapa selalu berakhir dengan aku yang hendak diperkosa oleh bosku. Tentu saja aku melawan meski aku tahu aku akan dipecat karenanya. Meskipun aku ini gay tapi bukan berarti aku ini pelacur. Saat aku mulai putus asa, aku bertemu dengan Ryou-chin dan dia menawariku bekerja sebagai staffnya.”

“Dan rasanya aku seperti kembali ke masa lalu saat bersama keluargamu. Aku dapat merasakan keluargamu harmonis meskipun tanpa ayah. Karena itulah aku sungguh-sungguh menyukai keluargamu, Suzuki-kun. Walaupun baru sehari  aku bersama kalian. Tapi aku benar-benar merasa bahagia. Rasanya hangat sekali saat ibumu membelai kepalaku. Jujur sebenarnya aku rindu diperhatikan seperti itu. Aku rindu makan malam bersama keluargaku. Aku rindu dibelai ibuku. Aku rindu dimanja oleh kakakku. Meskipun ayahku orangnya keras, tapi aku juga merindukkannya. Aku sangat merindukan mereka, hiks…”

Akira tercekat mendengar penuturan Takanori. Tak disangkanya ternyata kehidupan Takanori begitu menyedihkan. Ia kira Takanori itu seperti para gay yang ada di bar kemarin. Suka berfoya-foya dan mencari uang dengan menyerahkan tubuh mereka. Ternyata ia salah menilai sikap Takanori. Meskipun ia seorang gay, tapi bukan berarti untuk mencari uang ia rela menyerahkan tubuhnya. Menyadari Takanori menangis, awalnya Akira tak tahu harus bagaimana. Tapi tangannya bertindak tanpa kehendaknya. Tangan itu menarik tubuh Takanori ke tubuhnya, mendekapnya dengan lembut. Takanori berhenti menagis. Ia kaget tiba-tiba Akira memeluknya. Tapi kemudian ia menenggelamkan wajahnya ke dada Akira. Rasanya hangat sekali. Sudah lama sekali ia tidak dipeluk seperti ini.

“Maaf, Suzuki-kun. Aku tiba-tiba menangis. Sebenarnya saat ibumu membelaiku tadi aku sudah ingin menangis,” ucap Takanori pelan.

“Tidak apa-apa, kalau dengan menangis dapat meringankan bebanmu, menangislah, Matsumoto-kun,” ucap Akira. Kemudian tangisan Takanori pecah kembali. Akira tak peduli air mata Takanori mulai membasahi jaketnya. Tanpa ia sadari, tangannya membelai lembut rambut Takanori. Ia dapat mencium wangi sampo miliknya di rambut Takanori. Akira tidak tahu apa yang salah dengan dirinya. Ia tidak tahu kenapa Takanori tiba-tiba menceritakan hidupnya. Tapi mendengar penuturan dari Takanori barusan membuat mata hatinya terbuka. Tidak semua kaum gay rela meyerahkan tubuhnya demi uang. Juga tidak semua orang memiliki keluarga yang harmonis. Meskipun keluarganya tidak dilengkapi dengan keberadaan seorang ayah, tapi ia tidak pernah hidup susah. Meskipun ibu dan kakaknya adalah orang yang pemaksa, tapi ia tidak pernah dipaksa untuk memilih studinya. Bahkan mereka mensupport penuh apa yang Akira inginkan. Yah, mungkin mulai saat ini Akira harus bersyukur karena dikaruniai sebuah keluarga dan hidup yang menyenangkan. Ia tidak bisa membayangkan jika ia berada di posisi Takanori sekarang. Mungkin ia bisa gila atau bahkan nekat bunuh diri.

Dan saat ini, entah kenapa ia sungguh merasa tidak keberatan sama sekali Takanori menangis di dadanya. Bahkan ia memeluk Takanori yang seharusnya terus ia waspadai karena dia seorang gay. Tapi ia merasa tindakannya ini tepat. Terasa nyaman sakali saat memeluk Takanori. Apa mungkin Akira mulai menerima Takanori karena ia bukan seorang gay seperti yang ia pikirkan? Yah, untuk saat ini Akira akan membiarkan dirinya memeluk Takanori lebih lama tanpa diganggu oleh pikiran-pikiran homophobic-nya. Karena ia ingin menikmati kehangatan memeluk Takanori lebih lama.
 
***」」」」」」」」 tsuzuku 」」」」」」」」***

A/N: sedikit catatan, Ryou-chin disini tuh CEWEK lho yaaaaa~ XDDD
Ah, kalo ada yg inget ama fanficnya partysystem yg judulnya cityscape, itu masalah kehidupannya Ruki aku ngambil sedikit dari dia~~
makasih udah baca~ maap aneh dan lama ngapdetnya~ (。-_-。)

No comments: