Chapter: 1
Pairing: ReitaxRuki
Genre: ANGST!!
Ratings: Naek! PG-15
Warnings: Character death, drugs, violence, rape
Disclaimer: Ugh! I just own myself and the story… sadly…T.T
Notes: Ni fic terinspirasi pas denger lagunya gazette yang Without a Trace, nancep dalem banget di ati, bikin nangis T^T. Trus inspirasi laen dateng dr Vidklip Saosin yg Voices + fic punyanya Nyo ma Sasa Hime ma Chio juga. And I recommend you to listen to The GazettE – Without a Trace during read this fiction…
nochi ni shiru kanjou wa
muryoku yori hikyou
konzaiishiki no soko wo hau
senzaiishiki ni toikakeru
"me no mae no asu ga mienai"
The feelings you know after
From helplessness your cowardice
Crawls into the bottom of your consciousness mixture
You ask your subconsciousness why
"The tomorrow before my eyes can't be seen"
-Flash back-
Ruki menutup pintu kamarnya dengan keras. Ia mengambil iPodnya dan menjejalkan earphone di kupingnya. Ia keraskan volume iPodnya sehingga ia tidak lagi mendengar pertengkaran ibu dan ayahnya. Setiap hari, setiap malam, selalu seperti ini. Ia bosan. Ia muak. Ingin rasanya ia membungkam mulut kedua orang tuanya itu.
Ia membuka laci kedua meja di samping tempat tidurnya. Mengambil sebuah botol dan mengeluarkan beberapa butir tablet berwarna putih. Ia memasukkan tablet-tablet itu ke mulutnya. Selesai meminum obat-obat itu, ia rebahkan tubuhnya di atas kasur. Selang beberapa saat, ia mulai merasakan sensasi kenikmatan menyerangnya. Seiring dengan musik yang mengalun di telinganya, ia merasa tubuhnya terbang dan khayalannya memuncak. Kepuasan, kedamaian, dan ketenangan hati. Melupakan pertengkaran orang tuanya di luar sana. Melupakan semua masalah yang dihadapinya saat ini.
Ayahnya, seorang anak buah bos yakuza terkenal di Tokyo, termasuk tipe orang yang kasar dan ringan tangan. Setiap hari ayahnya itu selalu mabuk-mabukan dan tak jarang pulang di rangkulan seorang wanita yang bukan ibunya. Ibunya, seorang mantan pelacur dan juga pemabuk seperti ayahnya. Kini ibunya itu bekerja sebagai penghibur di salah satu bar besar di tengah kota. Ayah Ruki cemburu berlebihan pada ibunya karena ibunya itu tak bisa berhenti menggoda lelaki. Ibunya adalah sosok wanita yang tidak ingin di atur dan mengutamakan kebebasan. Pertengkaran selalu terjadi sejak Ruki masih kecil. Bahkan tak jarang Ruki terkena pukulan dari ayahnya itu.
Dulu Ruki kecil diasuh oleh neneknya. Ia selalu dilindungi oleh neneknya saat kedua orang tuanya bertengkar. Tapi semenjak neneknya meninggal pada saat Ruki berumur 12 tahun, Ruki merasa kehilangan seseorang orang yang sangat disayanginya dan seseorang yang selalu melindunginya. Sejak saat itu, Ruki yang tadinya anak yang berperilaku baik berubah menjadi anak berandalan. Ia bergabung dalam sebuah gangster dan mulai bertingkah seperti mereka.
Ruki tersadar dari khayalan surga sejenaknya. Ia memegangi kepalanya, pening yang amat sangat tiba-tiba menyerangnya. Ruki mencoba bangun meskipun masih merasakan pusing dan mengambil jaketnya. Ia melangkahkan kakinya keluar kamarnya. Ia bosan berada di dalam rumah seperti ini. Tidak peduli hari sudah malam, toh ia sudah biasa seperti ini. Belum sampai ia di pintu rumahnya, ibunya, yang masih setengah mabuk dengan luka memar di kepalanya, menegurnya.
“Hey, mau kemana kau malam-malam begini, bocah tengik?” tanya ibunya, dengan nada sedikit mengejek.
“Bukan urusanmu,” balas Ruki datar. Mengambil sepatunya dan memakainya.
“Cih, Taka, aku ini ibumu, tolol. Sekalian belikan aku sebotol sake lagi di...” Ruki tetap tidak memperdulikan omongan ibunya. Ia membuka dan menutup pintu dengan membantingnya. Tak peduli dengan ibunya yang akan marah-marah karenanya.
Ruki berjalan sempoyongan di gang setapak menuju pusat kota, tempat dimana ia biasa berkumpul bersama teman gengnya. Efek dari obat tadi masih ada. Ditambah Ruki belum makan apapun sejak siang tadi. Membuat langkah Ruki jauh dari orang normal melangkahkan kakinya. Berkali-kali ia menabrak tiang listrik di pinggir jalan.
Ruki berjalan terseret-seret dengan pundak bersandar pada pagar. Ia merasakan tubuhnya semakin kehilangan tenaga untuk berjalan. Ia ingin cepat-cepat sampai di tempat teman-temannya berkumpul. Tiba-tiba kakinya terantuk batu dan membuatnya jatuh. Kepalanya membentur lantai cukup keras dan membuatnya kehilangan kesadaran.
Reita keluar dari apartemennya dengan muka ceria dan penuh semangat. Ia menghirup dan menikmati segarnya udara yang langsung menyerang wajahnya. Matahari belum menampakkan dirinya, bahkan tanda-tanda untuk terbit pun belum terlihat. Jam setengah 4 pagi, memang terlalu pagi untuk melakukan jogging. Tapi sudah menjadi kebiasaan Reita, setiap minggu pagi, dimana orang-orang masih terlelap dalam tidurnya, ia justru berlari-lari mengelilingi kompleks tempat tinggalnya. Selesai berlari-lari, baru ia teruskan tidurnya hingga tengah hari.
Reita baru keluar beberapa meter saja dari pintu gedung apartemennya ketika tiba-tiba ia menemukan sesosok tubuh terbaring dipinggir jalan. Ia mendekati tubuh itu, seorang laki-laki masih muda, lalu ia mengguncangkan tubuhnya.
“Hey, masih hidup kan?” tanya Reita. Pemuda yang diguncangnya belum tersadar juga. Ia membalikkan badan pemuda tersebut dan menemukan kepala pemuda itu mengeluarkan darah. Tanpa berpikir panjang lagi, Reita langsung membopong pemuda itu dan membawanya masuk ke gedung apartemennya.
Reita membaringkan pemuda itu di sofa ruang tamunya. Ia mengambil kapas dan obat antiseptik. Sejenak sebelum mengobati pemuda itu ia terpana memandang wajahnya. Cantik. Kulit putih pucat, bibir kemerahan yang kering, bulu mata yang panjang. Reita sedikit gugup menyentuh kening pemuda yang bagaikan malaikat tidur itu. Ia menyibakkan rambut pemuda itu dan membelainya. Halus dan lembut.
'Sadar Rei! Dia seorang laki-laki!' suara bisikan di dalam hatinya menyadarkannya dari lamunan. Reita kembali mengobati kening pemuda itu dengan hati-hati dan begitu selesai ia langsung meninggalkan pemuda itu sendirian di ruang tamunya.
Ruki mulai tersadar dari pingsannya. Ia membuka kedua matanya perlahan dan menemukan dirinya bukan berada di kamarnya ataupun salah satu ruang di rumahnya. Ia terbaring di sebuah sofa berwarna krem. Barang-barang di sekitarnya tersusun dengan rapi. Ia bangkit mencoba untuk mengetahui dimana keberadaannya sekarang. Ia memegangi keningnya yang sedikit sakit. Sebuah benda empuk tertempel di dahinya.
“Oh, kau sudah sadar?” sebuah suara berat namun lembut menyapanya. Ruki menoleh ke arah sumber suara, seorang laki-laki muda dengan postur tubuh tinggi tegap, rambut pirang dengan poni menutupi sebelah matanya, dan sebuah benda menutupi hidungnya. Ruki mengernyitkan dahinya.
“Tadi aku menemukanmu pingsan. Namaku Reita, kau masih ingat namamu, kan?” Reita mendekati Ruki yang masih kelihatan bingung.
“Umm, yeah, Ruki,” jawab Ruki. Ia memperhatikan laki-laki di depannya. Tampan. Ruki mengakui hal itu. Dan dibalik benda yang menutupi hidungnya, sepasang mata berwarna coklat jernih menatapnya lembut. Membuat Ruki sedikit memerah karenanya.
“Ruki, nama yang lucu,” ia tertawa.
“Lucu? Jangan tertawakan panggilanku!”
“Ahahaha, kau marah, itu artinya kau baik-baik saja kan?” Reita tersenyum menatap Ruki. Tiba-tiba terdengar bunyi berasal dari perut Ruki. “Dan kau juga kelaparan,” Ruki menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya dan menunduk malu. “Kebetulan aku baru saja selesai membuat sarapan, kau mau makan bersamaku?”
“Ah, Maaf, merepotkanmu,” Ruki membungkukkan badannya. Reita langsung menangkap kedua pundak Ruki, menegakkan kembali badannya.
“Jangan terlalu sungkan padaku. Dan… Ruki… aku suka nama itu.”
“Terima kasih telah menolongku,” ucap Ruki, lagi, ia membungkukkan badannya.
Reita tersenyum pahit, “Kau yakin tidak apa-apa? Mau ku antar?”
“Tidak usah,” Ruki menggelengkan kepalanya, “Kau sungguh baik Reita. Aku tidak mau merepotkanmu lebih dari ini. Lagipula aku sudah menelpon temanku untuk menjemputku. Sekali lagi terima kasih.”
“Ehhm, Ruki…” panggil Reita sebelum Ruki membalikkan tubuhnya. Ia memasukkan sebelah tangannya di saku dan yang satunya lagi menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya.
“Ya?” Ruki menahan senyumnya melihat gelagat Reita. Meski ia memakai noseband untuk menutupinya, namun Ruki masih bisa melihat semburat merah dari pipinya.
“Bisakah, err, bisakah kita bertemu lagi?” Akhirnya pertanyaan itu muncul juga. Ruki tersenyum. Ia menyodorkan secarik kertas ke Reita. Reita menerima kertas itu dengan tatapan bingung.
“Nomor handphoneku. Kutunggu pesan darimu, Reita.”
==End of Chapter 1==
A/N: Haduuuh, kayaknya bakalan panjang neeh...
No comments:
Post a Comment